K.H. Yusuf Tauzirie
KH Yusuf Tauziri merupakan pendiri Masjid serta Pondok Pesantren Darussalam di Wanaraja, Garut pada tahun 1929.
Selain aktif dalam kegiatan pendidikan Islam, KH Yusuf Tauziri juga memantapkan diri terlibat dalam perlawanan penjajahan yang mengakibatkan dirinya dijebloskan ke dalam penjara oleh Jepang dengan tudingan sabotase.
Kiprahnya yang tidak kalah penting pada masa revolusi adalah terbentuknya Laskar Darussalam.
Menyusul kembalinya Belanda ke tanah air yang lantas menguasai Wanaraja, Yusuf bersama laskarnya hijrah ke utara Wanaraja, tepatnya di Pesantren Cipari, sebuah pesantren di sebelah utara Wanaraja.
Dulu Cipari ini merupakan bagian dari Wanaraja, kemudian ada pemekaran kecamatan, Cipari menjadi wilayah di Kecamatan Pangatikan.
Di sinilah beliau menyusun kembali laskarnya dan menjadikan Pesantren Cipari sebagai markas perlawanan terhadap penjajah.
Kemduian sejak masa prakemerdekaan KH Yusuf telah lama mengenal Kartosuwiryo di Sarikat Islam (SI). Persahabatan itu sudah terjalin sekitar 20 tahun.
Kiai Yusuf mengenal Kartosoewirjo ketika menjadi anggota Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1931-1938. Yusuf pun menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo.
Keluarga keduanya juga bahu-membahu dalam perjuangan melawan penjajah di Jawa Barat. Istri Kartosoewirjo, Dewi Siti Kalsum, bergaul akrab dengan adik-adik perempuan Kiai Yusuf yang memimpin seksi wanita Gerakan Pemuda Islam Indonesia Garut.
Perbedaan paham KH Yusuf dan Kartosoewirjo bermula pada awal 1940, Kartosoewirjo mengusulkan lembaga Suffah dalam kongres Komite Pembela Kebenaran. Komite ini merupakan pecahan PSII yang memilih jalan nonkooperatif dengan Belanda.
Dalam kongres itu, Kartosoewirjo memperkenalkan konsep hijrah, sama pengertiannya dengan hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Ia meminta setiap anggota menyumbangkan 2.500 kencring (2.500 sen atau 25 gulden) serta bergabung ke Suffah.
Sementara Kiai Yusuf berpendapat belum saatnya hijrah total. Alasannya, persiapan belum matang. Ia mengusulkan uang ditanamkan di bidang pertanian.
Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk membantu pendidikan para calon ulama dan pemimpin. Kartosoewirjo lalu mendirikan lembaga Suffah pada Maret 1940.
Kiai Yusuf sebenarnya secara tak langsung masih mendukung Suffah. Pada awal pendiriannya, ia mengirimkan dua anak laki-laki sebagai pengajar. Ia pun memasukkan keponakannya sebagai pelajar.
Pada Februari 1948, Kartosoewirjo mengadakan konferensi Darul Islam (DI/NII) pertama di Cisayong, Tasikmalaya.
Pertemuan itu membentuk struktur organisasi gerakan perlawanan, yang dipertegas dalam konferensi kedua di Cipeundeuy, Cirebon. Kartosoewirjo makin mematangkan gagasan Negara Islam yang terpisah dari republik ini.
Kiai Yusuf dan pengikutnya menganggap gagasan mendirikan Negara Islam dengan meninggalkan Republik terlalu jauh. Hingga akhirnya Pesantren Darussalam dianggap melawan Imam Kartosoewirjo.
Apalagi Pesantren Darussalam juga dijadikan tempat berlindung penduduk yang tak mau memberikan hartanya kepada tentara Darul Islam (DI/NII).
Pesantren pun menjadi target dan 1949-1958, pasukan Darul Islam (DI/NII), menyerang Desa Cipari lebih dari 46 kali.
Kartosoewirjo berniat menghabisi Kiai Yusuf sekeluarga serta pengikutnya dengan serangan besar-besaran pada 17 April 1952.
Dalam penyerbuan 17 April 1952 itu, empat pengawal pesantren dan tujuh penduduk Cipari tewas. Kiai Bustomi, kakak ipar Kiai Yusuf, juga menjadi korban. Ia ditembak ketika hendak berlindung di Masjid.
Serbuan ini menimbulkan kengerian penduduk Cipari. Mereka menemukan lusinan mayat di sawah dan kolam ikan. Bahkan air kolam di sekitar pesantren pun berwarna kemerahan.
Peristiwa itu menghantui penduduk, terutama perempuan dan anak-anak. Mereka ketakutan setiap kali mendengar langkah kaki orang di luar rumah pada malam hari.
Temuan mayat juga membuat banyak warga Cipari enggan bersawah. Mereka pun tak mau makan ikan. Selama dua tahun ikan hasil ternak warga tidak laku dijual.
Namun, peristiwa pengepungan di Desa Cipari tersebut, tak membuyarkan Pesantren Darussalam.
Kecintaan kepada Republik Indonesia, justru membuat Laskar Darussalam memilih untuk memperkuat Barisan Keamanan Rakyat (BKR), yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), sebagai cikal bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Itulah mengapa KH Yusuf Tauziri identik dengan Laskar Darussalam, tak dapat dipisahkan, bagai ikan dengan air. Dan mereka tak terpisahkan dengan keberadaan Tentara Nasional Indonesia.
Pada saat terjadi pemberontakan NII/DI, Darussalam yang memang dijadikan benteng pertahanan oleh TNI, menjadi sasaran penyerangan yang dilakukan oleh Kartosuwiryo dan kawan-kawan.
Jejak berondongan peluru masih terekam jelas dan menjadi tapak sejarah akan lahirnya perjuangan mempertahankan Republik ini.
Nama Yusuf Tauziri pun jelas tertoreh di dalam sejarah TNI, khususnya Kodam Siliwangi, sebagai seorang tokoh pejuang yang berperan serta atas lahirnya Tentara Nasional Indonesia.
Kiai Yusuf Tauziri wafat di Garut pada 1982. Makamnya di lingkungan Pesantren Darussalam, Wanaraja, Garut, kampung halamannya.
Sumber:
Komunita ngejah.wordpress
inilahgarut
diolah dariberbagai sumber
sindonews.com
0 komentar:
Posting Komentar